Kamis, 20 Februari 2014

Guru Mangaloksa

Membaca tulisan appara (bisa juga mar-lae, karena tulang rorobot -- tulang dari istriku -- bermarga Hutabarat) Agust Hutabarat yang diarsip di http://archive.is/20121203195146/agusthutabarat.wordpress.com/guru-mangaloksa-dan-hutabarat/ (dari link agusthutabarat.wordpress.com/guru-mangaloksa-dan-hutabarat/ didapati error 404) membuat aku harus mengutip dan mendokumentasikannya di blogku ini. Tulisan ini tentang nenek moyang Opat Pusoran yang di dalamnya masuk margaku, Lumbantobing. Berikut tulisannya.

Yang ku tahu sedikit tentang leluhur kita (Guru Mangaloksa), bahwa beliau adalah keturunan Hasibuan. Pada suatu hari beliau berburu ke hutan, kebetulan Guru Mangaloksa mahir menggunakan sumpit (ultop). Pas berburu, dia berhasil menyumpit seekor burung yang konon katanya sebesar kambing, namun burung tersebut tidak langsung mati, malah terbang. Guru Mangaloksa pun mengikuti burung tersebut, namun tanpa disadari, beliau sudah semakin jauh dari kampung. Ketika dia sadar, dia tidak mengenal tempat itu. Namun tiba-tiba dia melihat asap, dan beliau pun mencari tahu asal asap itu. Dan akhirnya Guru Mangaloksa sampailah ke Silindung (sekarang Tarutung). Ternyata kampung tersebut milik marga Pasaribu.

Pada saat itu, kampung sedang dilanda teror. Di kampung tersebut sering didatangi burung rajawali berkepala tujuh yang suka memangsa anak-anak dan hewan ternak. Sudah banyak cara yang dilakukan raja Pasaribu untuk mengusir burung tersebut, namun hasilnya sia-sia. Akhirnya Guru Mangaloksa yang pandai menggunakan sumpit dan juga sakti itu, menawarkan diri untuk membunuh burung tersebut. Dan akhirnya dia berhasil membunuh burung rajawali berkepala tujuh itu. Sebagai imbalan, raja Pasaribu memberikan salah seorang putrinya untuk dijadikan istri oleh Guru Mangaloksa.

Setelah guru Mangaloksa menikah dengan boru Pasaribu, Guru Mangaloksa berniat meminta sedikit tanah untuk bertani kepada mertuanya (Raja Pasaribu) sehingga dia mengutus istrinya untuk menghadap sang raja. Namun ternyata terjadi salah paham, Guru Mangaloksa meminta sedikit tanah yang oleh Raja Pasaribu diartikan berbeda. Dia pun memberikan tanah dalam tandok (tempat beras/padi) untuk dibawa boru Pasaribu ke suaminya (Guru Mangaloksa). Melihat hal itu, Guru Mangaloksa sakit hati terhadap mertuanya. Namun dia tidak ingin bertengkar dengan mertuanya. Akhirnya dia memikirkan sebuah siasat untuk mengelabui mertuanya dan menyuruh mereka untuk keluar dari kampung tersebut.

Guru Mangaloksa membuat seolah-olah kampung mereka sedang dikepung musuh, kemudian dia meletakkan poring (sebuah tanaman jika dipijak akan menimbulkan bunyi seperti letusan senjata). Ketika dia menyampaikan kabar bahwa kampung telah dikepung musuh, mertuanya pun panik dan berlari keluar. Tiba-tiba dia menginjak poring tadi, mertuanya mengira itu adalah suara letusan senapan (bodil) musuh. Akhirnya Guru Magaloksa berhasil mengajak mertuanya mengungsi. Sejak kejadian itu ada ungkapan dalam masyarakat Batak yaitu “Pasaribu na dilele ni poring (Pasaribu yang dikejar poring)”.

Dalam perjalanan ke pengungsian bersama mertuanya, Guru Mangaloksa meminta izin kepada mertuanya untuk kembali ke kampung untuk melihat keadaan, dan mertuanya pun merestui. Dalam perjalanan, pas di tepi Aek Situmandi, anak pertama guru Mangaloksa lahir. Anak itu diberi nama Si Raja Nabarat, na barat artinya yang berlawanan. Saat itu Guru Mangaloksa menyadari perbuatannya terhadap mertua (hula-hula) bahwa itu sebenarnya bertentangan.

Kemudian lahirlah anak kedua, yang dinamakan Si Raja Panggabean, yang artinya sejahtera. Guru Mangaloksa melihat, walaupun dia telah berbuat salah terhadap mertua (hula-hulanya), tapi dia masih diberikan kesejahteraan (hagabeon) oleh Ompu Mulajadi Nabolon.

Kemudian anak ketiga lahir diberi nama Si Raja Hutagalung. Dan anak keempat diberi nama Si Raja Hutatoruan (Hutapea dan Lumbantobing).

Adapun marga-marga keturunan Guru Mangaloksa adalah:
  1. Si Raja Na Barat, yaitu marga Hutabarat;
  2. Si Raja Panggabean, yaitu marga: Panggabean, Simorangkir;
  3. Si Raja Hutagalung, yaitu Marga Hutagalung;
  4. Si Raja Hutatoruan, yaitu marga: Hutapea, Lumbantobing.
Keempat anak ini dikenal dengan Si Opat Pusoran. Dulunya sesama si Opat Pusoran tidak boleh saling menikahi, namun seiring perjalanan waktu, sesama si Opat Pusoran sekarang sudah bisa saling menikahi dan tidak melanggar adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar