Selasa, 18 Februari 2014

Protes Singapura terhadap Penamaan KRI Usman-Harun

Awal Februari, hubungan Indonesia-Singapura memanas. Pemicunya adalah penamaan sebuah kapal perang TNI AL yaitu KRI Usman-Harun. Singapura melalui Menteri Luar Negeri K. Shanmugam protes dan dibalas oleh TNI dengan tidak akan mengganti nama kapal perangnya. Banyak tokoh yang mengganggap Singapura "terlalu lancang" mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, apalagi sampai menyebut Usman-Harun adalah teroris. Terserah loh deh, mau bilang teroris atau tidak. Tapi bagi Indonesia, Usman-Harun adalah pahlawan, bukan sekedar pahlawan biasa tapi pahlawan nasional. Dan sudah menjadi tradisi TNI AL menamai kapal perangnya dengan nama pahlawan nasional.
Sebenarnya menurutku yang bukan sejarawan (hehe...), masalah Usman-Harun ini sudah selesai ketika PM Lee Kuan Yew menaburkan bunga di makam Usman dan Harun pada tahun 1973.

Sejarah Usman dan Harun tidak bisa dilepaskan dari peristiwa Konfrontasi dengan Malaysia (1962-1966). Perang ini berawal dari keinginan Federasi Malaya (lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu) pada tahun 1961 untuk menggabungkan Brunei, Sabah (Borneo Utara), dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia. Keinginan tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia (sekarang Malaysia) sebagai "boneka Inggris" dan merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini yang mengancam kemerdekaan Indonesia. Filipina juga tidak setuju dengan penggabungan tersebut karena secara historis dan yuridis wilayah Sabah yang akan dimasukkan  ke dalam Federasi Malaysia adalah milik Sultan Sulu dari Filipina yang disewakan kepada pemerintah Inggris.

Indonesia mengadakan konfrontasi dengan Malaysia. Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan Indonesia mulai memasuki Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase.

Pertemuan antara Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman dari Federasi Malaya yang diadakan di Tokyo, Jepang tanggal 31 Mei sampai 1 Juni 1963 berhasil meredam ketegangan untuk sementara waktu. Kemudian dilanjutkan dengan pertemuan Menteri Luar Negeri Indonesia, Malaya dan Filipina yang menghasilkan pokok-pokok pengertian di antara ketiga negara dalam memecahkan masalah yang timbul. Usaha Indonesia-Malaysia-Filipina dalam rangka meredam konflik antara lain membentuk Maphilindo (Malaya, Philippines, Indonesia), dengan maksud untuk persatuan rumpun di Asia Tenggara. Konsep ini merupakan kesepakatan bersama antara Presiden Soekarno, Presiden Diosdado Macapagal dari Filipina, dan Perdana Menteri Federasi Malaya, Tunku Abdul Rachman. Puncaknya adalah penandatanganan Persetujuan Manila (Manila Accord) pada 31 Juli 1963 yang berisikan kesepakatan untuk memberikan kesempatan kepada rakyat Sabah (Borneo Utara) dan Serawak untuk menentukan nasib sendiri melalui sebuah pemilu bebas dan tidak ada paksaan.

Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di
daerah yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi oleh PBB.
Tetapi pada 16 September 1963, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan, ditandatangani Naskah Penggabungan Empat Negara Bagian yang terdiri atas Persekutuan Tanah Melayu, Singapura, Serawak dan Sabah dalam Federasi Malaysia. Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang luar. Tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai Persetujuan Manila yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme Inggris.

17 September 1963, berlangsung demontrasi anti Indonesia di Kuala Lumpur. Demonstran yang marah terhadap Presiden Soekarno yang melancarkan konfrontasi dengan Malaysia menyerbu KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan PM Tunku Abdul Rahman, dan memaksanya menginjak Garuda.

Tanggal 3 Mei 1964 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Soekarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
  1. Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia.
  2. Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Setelah perintah Dwikora, banyak terjadi aksi penyerangan, sabotase, dan usaha pendudukan di Malaysia. Sampai-sampai Malaysia harus meminta bantuan dari Inggris dan Australia. Konflik juga terjadi antara pasukan khusus kita dengan Special Air Service (SAS) milik Inggris dan Australia di belantara Kalimantan.

Usman Djanatin dan Harun Said sebagai prajurit KKO (Korp Komando Operasi, sekarang Marinir TNI AL) berangkat ke Singapura dengan tugas negara untuk menyabotase keadaan di Singapura. Mereka berhasil meledakkan MacDonald House yang berada di Orchard Road pada tanggal 10 Maret 1965 yang menewaskan 3 orang dan melukai 33 orang. Alasan mengapa MacDonald House sebagai target berdasarkan buku sejarah TNI, Malcolm MacDonald adalah salah satu yang mencetuskan ide pembentukan federasi 3S (Singapura, Sarawak dan Sabah). Selain itu tempat dan nama MacDonald adalah simbol kekuasaan Inggris di Asia Tenggara.

Ketika berusaha melarikan diri, Usman dan Harun tertangkap patroli Singapura dan dipenjara. Pengadilan menjatuhi hukuman gantung atas kasus pembunuhan, penggunaan bahan peledak, dan melakukan tindakan terorisme. Usman dan Harun menolak semua tuduhan dan mereka memberi pernyataan bahwa apa yang mereka lakukan bukan kehendak sendiri, tapi karena dalam keadaan perang. Dan oleh karena tersebut, mereka meminta agar diperlakukan sebagai tawanan perang. Namun hakim menolak dengan alasan sewaktu kedua tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian militer. Usaha yang lainnya pun dengan naik banding juga ditolak Federal Court of Malaysia pada 15 Oktober 1966 dan pada 17 Februari 1967 perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di London. Semua upaya hukum dan diplomatis tidak berhasil. Hingga grasi pun ditolak Presiden Singapura Yusuf bin Ishak. Tidak patah berusaha, permintaan terakhir Presiden Soeharto agar pelaksanaan hukuman terhadap Usman dan Harun dapat kiranya ditunda 1 minggu guna memberi kesempatan kedua terhukum bertemu dengan orang tua dan sanak keluarganya. Lagi-lagi Pemerintah Singapura menolak (terlalu...). Pemerintah Singapura telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun pada 17 Oktober 1968 jam 6.00 pagi.

Karena kecewanya, Soeharto menarik semua staf kedutaan dari Singapura dan hanya menyisakan seorang atase pertahanan saja. Jenazah mereka dijemput dengan Hercules dari Singapura, langsung dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 050/TK/Tahun 1968, tanggal 17 Oktober 1968, dan dimakamkan di TMP Kalibata. Hubungan pun memburuk. Baru tahun 1973 hubungan membaik, diawali keinginan Lee Kuan Yew untuk mengunjungi Indonesia tapi diberi syarat oleh Presiden Soeharto, Lee harus menaburkan bunga ke makam kedua pahlawan tersebut.

Pertanyaannya, kalau Singapura menyebut Usman dan Harun teroris, apakah mungkin seorang PM Singapura menaburkan bunga tanda penghormatan ke makam teroris? Kalaupun Singapura tetap menganggap mereka teroris, apakah mereka juga memaksakan anggapannya kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa Usman dan Harun adalah teroris. Dan sudah aturan AL memberi nama kapal perangnya dengan nama pahlawan nasional, bukankah suatu saat juga nama Usman dan Harun akan dipakai?

Jadi Singapura harus menghormati kedaulatan negara lain, menghormati sejarah negara lain, yang mungkin beda tafsir dengan mereka.


Sumber:
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Konfrontasi_Indonesia-Malaysia
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Persetujuan_Manila
3. http://soeharto.co/diplomasi-demi-harga-diri-bangsa
4. http://sejarah.kompasiana.com/2014/02/08/usman-harun-pahlawan-dwikora--631862.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar