Senin, 17 Maret 2014

Pro-Kontra Capres Jokowi

Jumat, 14 Maret 2014, tepat 2 hari sebelum dimulainya kampanye terbuka untuk Pemilu Legislatif 9 April 2014, Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan mengumumkan pemberian mandat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo sebagai calon presiden (capres) 2014. Sebagian kalangan menilai ini langkah cerdas agar perolehan suara PDIP di Pileg 2014 ini naik karena efek Jokowi. Bahkan di hari yang sama, bursa saham dan nilai tukar rupiah mengalami penguatan, yang diduga karena reaksi pasar positif terhadap berita ini.

Tidak ketinggalan di dunia maya, di media sosial Facebook, status bermunculan tentang berita pengumuman pen-capres-an Jokowi ini. Dari semua status tentang pen-capres-an Jokowi, pada dasarnya dikelompokan menjadi dua: yang pro dan yang kontra. Aku sendiri menuliskan status yang pro pen-capres-an karena kunilai inilah momentum yang tepat Jokowi pindah dari Medan Merdeka Selatan ke Medan Merdeka Utara untuk melakukan pembenahan, sekalipun masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta masih panjang. Ini dikarenakan Jokowi figur tepat dan berkemampuan memimpin bangsa ini. Tapi ada juga beberapa teman yang tidak setuju dan yang tidak setuju ini aku komentari dengan memberi jawaban dari ketidaksetujuan mereka. Menurutku alasan ketidaksetujuan mereka perlu diluruskan.

Seorang teman tidak setuju karena dia menganggap Jokowi hanyalah seorang oportunis yang tidak bertanggung jawab dengan meninggalkan janji tanpa penggenapannya. Aku komentari dengan menjelaskan apa arti oportunis dan tepatkan Jokowi dikatakan seorang oportunis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, oportunis adalah orang yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu. Mana buktinya Jokowi mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada (dia sebagai Gubernur DKI Jakarta). Mengenai janjinya, justru kebijakan yang pengambilan keputusannya langsung di tingkat provinsi dilakukan dengan baik. Lihatlah bagaimana reformasi pelayanan publik di Jakarta saat ini. Kalau untuk masalah banjir dan kemacetan, kujawab pengambilan keputusannya bukan hanya di tingkat DKI Jakarta, tetapi juga dari pusat dan provinsi sekitar. Nah, jika beliau jadi presiden tentunya sebagai orang yang pernah memimpin Jakarta, beliau dapat membuat kebijakan di tingkat pusat untuk mengatasi masalah banjir dan kemacetan ini. Jadi beliau bukan meninggalkan janji, justru menempuh jalan untuk menggenapinya.

Seorang teman, yang tampaknya pro salah satu capres berkomentar dengan menuliskan status yang intinya menyinggung tentang Perjanjian Batu Tulis yang dilanggar oleh Megawati. Ternyata setelah kuperhatikan, judulnya saja Kesepakatan Bersama, bukan perjanjian. Kesepakatan dan perjanjian berbeda makna. Aku komentari dengan memberi penjelasan yang kurasa tepat. Pada butir 7 isi kesepakatan itu dituliskan: "Megawati mendukung pencalonan Prabowo sebagai capres 2014." Menurutku kalimat ini multi tafsir dan menggambang dan menurutku di sini Megawati tidak melakukan kesalahan. Sebagai Ketua Umum PDIP, tentunya Megawati men-capres-kan dari kader, bahkan mungkin dirinya sendiri, kecuali koalisi. Tapi melihat survey-survey yang ada dengan peluang memenangkan Pileg, tentunya posisi tawar PDIP lebih tinggi dan tentunya seluruh elemen partai mencalonkan dari internal partai. Ini sudah pasti dilakukan oleh partai manapun jika mereka sepopuler PDIP seperti sekarang. Dan sebagai Ketua Umum, Megawati harus mendengar aspirasi dari bawah, sebagai ciri seorang pemimpin. Kalau untuk dukungan, bisa saja beliau mendukung siapa saja yang mencalonkan diri jadi capres. Tidak ada yang salah dengan isi butir 7 ini.

Ada lagi teman yang berkomentar di statusku yang menuliskan kalau Jokowi adalah bonekanya Mega. Kubalas dasar berpikir temanku ini tidak jelas. Justru kalau dilihat dari pergerakannya, Jokowi tidak bisa didikte oleh siapapun. Teman ini juga menuliskan kalau ujung-ujungnya cuma kasih makan partai. Dari manalah dia bisa menarik kesimpulan seperti itu. Justru aku tahu pilihan dia selama 2 pemilu sebelumnya dan yang dipilihnya itulah yang menunjukkan tepat seperti yang dikomentarkannya.

Akhirnya setelah sekian banyak komentar yang sebenarnya adalah debat, aku malas melanjutkannya karena sudah jadi debat kusir. Kututuplah dengan menuliskan di statusku:
Mundurlah dari membicarakan Jokowi. Debat kusir yang ada (debat kusir: debat yang tidak disertai alasan yang masuk akal). Tidak jelas kerangka berpikir, data pendukung, logika tidak jelas. Memang Jokowi ini tidak untuk diperdebatkan, tetapi untuk dirasakan, dialami. Bagi yang sudah merasakan dan mengalami, ada yang setuju dan tidak setuju dengan pencapresannya. Yang tidak setuju mungkin bukan karena tidak suka dia jadi capres, tapi karena belum rela ditinggalkan oleh Jokowi. Bagi yang masuk kategori ini, pliss, kami yang bukan warga DKI juga butuh sentuhan Jokowi. Kiranya Tuhan memberkati Indonesia dengan pemimpin yang terbaik.
Jokowi itu untuk dirasakan, dialami. Kiranya Tuhan memberkatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar